Peran Kiai dalam Merawat Kemurnian Agama, Menjaga Perdamaian, dan Kekhasan Nusantara
Kemurnian agama bukan hanya diukur dari tekstualitas nash (teks Al-Qur’an dan hadis), tetapi juga dari konteks penerapannya yang sesuai dengan maqashid syariah—tujuan-tujuan luhur syariat seperti menjaga akidah, akhlak, dan kemaslahatan umum. Dalam hal ini, kiai memegang peran penting dalam membumikan ajaran Islam melalui pendekatan yang bijak, adaptif, dan membaur dengan masyarakat.
Berbeda dengan sebagian tokoh transnasional yang memahami agama secara hitam-putih, para kiai justru mengajarkan Islam secara bertahap (tadarruj), mengedepankan kasih sayang (rahmah), dan menekankan akhlak sebagai fondasi utama. Lewat pengajian, ngaji kitab kuning, dan keteladanan hidup, para kiai menjaga agar ajaran Islam tidak diselewengkan oleh pemahaman radikal atau semata-mata formalistik.
Ulama lokal tidak hanya menjadi guru agama, tetapi juga penjaga perdamaian sosial di masyarakat. Di banyak daerah, kiai menjadi penengah konflik antarwarga, penasehat pemerintah desa, bahkan mediator dalam konflik antaragama. Dengan modal kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, suara kiai lebih didengar daripada pejabat.
Nilai-nilai Islam yang disampaikan oleh kiai selalu dikaitkan dengan pentingnya toleransi, tepa selira, dan ukhuwah. Konsep-konsep seperti ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah terus digaungkan oleh para kiai untuk merawat persaudaraan, baik antarumat Islam maupun dengan umat lain. Di tengah tantangan polarisasi identitas dan politik agama, peran kiai sebagai penjaga stabilitas sangat krusial. Mereka tidak membawa agama ke arah konflik, tetapi menjadikan agama sebagai solusi bagi keretakan sosial.
Islam di Indonesia memiliki karakteristik khas: ramah, moderat, dan bersinergi dengan tradisi lokal. Kiai menjadi penjaga sekaligus pelestari kekhasan ini. Tradisi seperti tahlilan, yasinan, maulidan, haul, ziarah kubur, hingga barzanji merupakan ekspresi keberagamaan yang tumbuh dari rahim dakwah para kiai sejak zaman Wali Songo.
Sayangnya, praktik keislaman yang kaya budaya ini sering diserang oleh sebagian kelompok transnasional sebagai bid’ah atau bahkan syirik. Dalam konteks inilah para kiai berdiri di garda depan untuk meluruskan pemahaman, menjelaskan dalil-dalil secara ilmiah, serta membela praktik Islam lokal sebagai bentuk kecintaan pada tradisi yang tetap dalam bingkai syariat.
Bukan hanya mempertahankan, para kiai juga terus memodernkan pendekatan dakwah, menggunakan media sosial, video ceramah, hingga forum diskusi online. Hal ini menunjukkan bahwa kekhasan Islam Nusantara bukan berarti tertinggal, tetapi justru adaptif dan relevan.
Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks, keberadaan ulama lokal, terutama para kiai, adalah anugerah besar bagi bangsa Indonesia. Mereka bukan hanya pewaris ilmu, tetapi juga penjaga keseimbangan antara teks dan konteks, agama dan budaya, syariat dan tradisi. Dengan tetap menjaga kemurnian ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, menenangkan masyarakat dari gejolak konflik, serta merawat kekhasan Islam Nusantara, para kiai membuktikan bahwa Islam dapat hidup damai di tengah keragaman, menjadi berkah bagi seluruh alam.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya peran kiai dirawat, diperkuat, dan dihormati. Mereka bukan hanya tokoh agama, tetapi penjaga peradaban. Dan dalam wajah Islam Indonesia, para kiai adalah cerminnya.
Abdul Warits, Sekretaris Duta Damai Santri Jatim.
Diskusi